Pages

04 Februari 2017

PULANG KE RAHIM BUMI

Aku tak mau tubuhku disentuh tanah yang lain
Kecuali warna tanahmu

Matahari tak mampu merobek keputusan
Yang semakin menetes membasuh jiwa
Coba mengajakku pulang

Biar tubuh terbakar
Aku tak mau menyentuhmu
Tidak juga mengenalmu

Aku tahu kau selalu ada
Melukis wajahku
Mengajari menyulam waktu
Untuk paham arti perjalanan menjadi manusia

Aku ingin rasaku mati
Setiap menyentuh jengakal tanahmu

Terlipat seperti gesekan darah
Yang bersembunyi di balik urat
Nafasmu ada pada lipatan tubuh manusia
Jiwaku tersembunyi di kotak wajahmu
Setiap detik kau buatkan alur cerita dan dongeng
Suaramu ada pada kesenyapan
Ada pada tanda Tanya, koma, titik, seru
Mungkin juga terselip di otak para ilmuwan
Satu keinginanku
                Meminjamnya sehari, dua hari ……….

(?)
Suara mantra, kepungan asap, sesaji
Arak anyir mulai diserap tanah
Aku melihat asap dupa kelelahan
Upacara usai
Bunga-bunga membusuk
Ada anjing mengamuk menitari tumpukan sesaji
Ada ayam memanggil seratus anaknya
Bau aneh melukai nafasku
Kuhitung gerak waktu yang melingkar di otakku
Kulihat langit gelap
Kau tak muncul
Orang-orang mulai rontok
Inikah cara terbaik menjemputmu

(?)
Wajahmu ada di mana-mana
Pada tugu batu yang kaku dan dingin
Pada tumpukan lontar tua
Pada tubuh coro-coro yang merusak mantra rahasiamu
Yang makin tipis dan tak terjamah tangan
Kelak, seratus tahun lagi
Anak cucu mengeramatkan benda-bendamu
Untuk mencari wajahmu

(?)
Wajahmu
ada di mana-mana
pada tumpukan sesaji busuk
menjelma tanah dan terinjak
wajahmu ada di mana-mana
pada warna yang bergairah
wajahmu ada di mana-mana

aneh, aku tak pernah mengenalmu



Pengembara rimba laut

Biar kulukis setiap Rahim buih laut
Toreh tubuhmu
Lahirkan daun dan bunga karang
Dari kepucatan warna waktumu

Dengan taksu, awan mewarnai laut
Pasir menyentuh ujung lidah buih
Lari dari lingkaran tangan matahari
Letakan warna malam pada persekutuan manusia

Pengembara laut rimba sejati
Labuhkan sanpanmu
Sihir tubuhku dengan ketuaan lautmu

Warna itu
Kau genggam dengan dengan kepekatan pengembaraanmu

Laut melahirkan garam
Tubuhmu beku
Orang-orang menyimpan lading tubuhmu

Wajah manusia hilang dalam pengembaraan
Kau tetap mendayung sanpammu
Memanah angina, meludahi petir
Membanting hujan

Kau petik Bunga beraroma kematian
Dari pengembaraan panjang rimba laut

Benihnya menetes pada lading manusiaku
Membakar wajah-wajah langit
Memecah bentuk  menusiaku

Giring, giringlah sampanmu, pengembara rimba laut sejati
Bungamu membunuh bumi, tanah dan matahari.





EPISODE CILIWUNG DAN TANJUNG LESUNG

Naik getek ketanjung barat
Suatu bentuk hidup alamiah yang mulai berkarat
Di mana seorang bayi merah pernah lahir dari sepinya rimba-rimbamu
Dari kuping bayiku
Kudengar nafas kelanjutan perjalanan
Ibuku lari pak getek.., pak getek .., ibuku lari
Kau hanya diam dan menyebrangkan orang-orang
Dengan tarikan tali-tali yang kau ikatkan dengan pohon besar
Nafasmu tidak pernah teratur seperti gelombang tali
Selalu menawarkan rahasia
Airmu merambah tubuhku
Mencuci kaki kecilku
Menghidupkan kegelisahan orang-orang
Ketika tujuh anak tujuh tahun mati
Katamu;

Pak catam… pak catam… anakmu lahir
Seorang perempuan dengan pedang matahari dimatannya
Pak catam.. pak catam.. anakmu lahir

Pak catam diam
Menghitung rintik  hujan yang melukai daun pisang mudannya
Istinya lari dijemput seseorang lelaki muda di ujung sungai
Bibirnya kaku
Sorot matamu penuh warna ketakutan
Katamu lagi;

Pak catam.. pak catam.. istrimu lari
Jangan tunjukan bedil dan pisaumu
Kemana lagi kau mau berperang

Takutkah kau kehilangan perempuanmu
Sungai ciliwung mengental
Tubuhnya makin coklat
Seratus prajurit melahirkan bayi-bayi baru
Meninggalkannya pagi-pagi
Tengan malam perempuan-perempuan tua
Meminjamkan putingnya

Pak catam.. pak catam.. anakmu sudah besar
Apa pangkatmu sekarang



I LOVE YOU

Benteng kuno besak, pinggiran sungai musi.
Aku dan dia berjanji bertemu disini…


                Aku dan dia berjanji bertemu disini. Setelah pembicaraan panjang berurai air mata lewat telepon, akhirnya kami memutuskan bertemu. Disini. Ditempat kami biasanya menghabiskan sore dengan menatapi langit berganti gelap. Tempat ini selalu ramai. Namun semilir angina yang berhembus sejuk masih bisa terdengar jelas ditelinga. Aku melirik sekilas ke arah lelaki disebelahku ini.
Matanya tak lepas menatapi langit yang berwarna jingga kemerahan. Ya, dia begitu mencintai senja. Mungkin sama besarnya seperti aku mencintai kalimat-kalimat penenang yang selalu keluar dari mulutnya.
                “jadi, udahan nih sama dia?” dia memulai obrolan. Aku menghela nafas berat, masih terasa nyeri. Mendadak bayangan penghianantan itu kembali berputar dikepalaku.
                “Lagian, kamu sih…asal jadian aja.. mana nggak cerita-cerita ke aku. Tiba-tiba udah jadian aja.” Aku melirik sebal. Lelaki disebelahku ini tersenyum. Salah satu senyuman yang termanis.
                “Terus sekarang udah baikan?” tanyanya lagi. Padahal aku padahal aku belum menjawab satupun pertanyaan yang diajukan dari tadi. Aku mengakat bahu.
                “Entahlah….,”jawabaku. Nyeri itu masih terasa, dalam setiap tarikan nafas, masih amat sangat terasa. Aku sampai ingin berhenti  bernafas saja. Kami larut dalam keheningan lagi. Mendengarkan semilir angina yang berhembus sejuk di telinga. Langit sudah mulai menggelap. Lima menit. Sepuluh menit. Matahari beranjak keperaduannya. Menyisahkan semburat jingga yang sebentar lagi akan berganti gelap. Dia menoleh kearahku. Apa? Kunaikan alis mataku. Dia menatap mataku dalam dan…
                “Aku saying kamu, Dhe…” dia berbisik pelan. Sangat pelan. Tapi mampu ditangkap indra pendengaranku. Aku tersentak kaget. Jantungku terasa berhenti berdetak. Aku tidak salah dengarkan? Kamu?
                “selama ini aku diam aja, dengerin curhatan kamu tentang cowok-cowok yang dekat sama kamu. Aku support setiap kamu deketin cowok. Bahkan aku ikut bahagia kalo kamu bilang kamu jadian…”
                Aku diam. Kali ini dia tidak berbisik lagi. Dia berbicara dengan jelas. Dan entah mengapa mendadak suasana disekitar menjadi sepi, amat sangat sepi. Bahkan anginpun seakan berhenti dan ikut mendengarkan.
                “Tapi, waktu kamu jadian sama dia, aku ngerasa ada yang hilang. Kebersamaan kita, Dhe… Dia menyabotase seluruh waktumu…”ucapnya sambil mengalihkan pandangannya. Aku masih diam. Masih mendengarkan. Kali ini aku sudah yakin aku tidak salah dengar lagi, karena dia berkata begitu jelas.
 “Akhirnya aku janji sama diri aku sendiri, kalo nanti kalian putus, aku nggak akan nyia-nyiain kesempatan lagi. Aku bakal bilang ke kamu yang sebenarnya. Tentang perasaan ini.”
Tuhan…
                “Dan..sekarang ini saatnya…,”ucapmu dan kembali menatapku.
                Dua tahun terlewati dengan segala ketidakpastian diantara kita, akhirnya malam ini kamu katakana itu. Kamu sayang aku? Aku tidak sedang bermimpi indah, kan ? atau tidak pula sedang masuk dalam salah satu gombalanmu,kan?
                “kamu mau jadi pacar aku, Dhe?”
                Pertanyaan singakat itu membuat aku menggigil. Aku mau? Tentu saja aku mau! Tapi..entah kenapa hati ini mendadak ragu .. aku baru saja dikhianati. Seseorang baru saja membawa pergi semua kebahagian secara tiba-tiba.
Kebahagian yang sejatinya dihadirkan secara tiba-tiba juga. Dan aku takut..
Akan ada luka lain dibalik mala mini ..
                “Aku …” Aku tergagap. Entah kenapa aku seakan tidak menemukan kata-kata yang pas untuk diungkapkan.
                “Aku janji nggak akan ngecewain kamu.. aku pasti jaga kamu baik-baik, Dhe. Aku janji bakal jadi cowok yang kamu inginkan selama ini… kayak apa yang selalu kamu seritain ke aku.”
                Dia meraih tanganku dan menggenggam dengan erat. Aku menatap matanya,
Berusaha mencari kesungguhan disana. Dan dia balas menatapku. Ah, apa aku juga bilang matamu ini meneduhkan? Dan aku menemukannya di sana. Kenyamanan. Lalu tiba-tiba di kepalaku seperti ada sebuah video yang berputar. Saat-saat di mana dia selalu ada untuk membelaku dalam kondisi apa pun. Dia selalu jadi orang pertama yang dating memeluk saat aku senang maupun sedih. Dia yang rela meninggalakan pertandingan bola liga favorit demi menemani aku. Dia yang …,
                Ah.. Mata memang selalu jujur. Aku masih menatap matanya dalam-dalam. Kami saling menatap. Wajah kami semakin dekat dan jarak diantara kami semakin mengecil dan jutaan kupu-kupu mulai menggelitik perutku.
                Tuhan, I do love him… dan lelaki seperti dia ini yang aku cari..