Benteng kuno besak, pinggiran
sungai musi.
Aku dan dia berjanji bertemu
disini…
Aku
dan dia berjanji bertemu disini. Setelah pembicaraan panjang berurai air mata
lewat telepon, akhirnya kami memutuskan bertemu. Disini. Ditempat kami biasanya
menghabiskan sore dengan menatapi langit berganti gelap. Tempat ini selalu
ramai. Namun semilir angina yang berhembus sejuk masih bisa terdengar jelas
ditelinga. Aku melirik sekilas ke arah lelaki disebelahku ini.
Matanya tak lepas menatapi langit
yang berwarna jingga kemerahan. Ya, dia begitu mencintai senja. Mungkin sama
besarnya seperti aku mencintai kalimat-kalimat penenang yang selalu keluar dari
mulutnya.
“jadi,
udahan nih sama dia?” dia memulai obrolan. Aku menghela nafas berat, masih terasa
nyeri. Mendadak bayangan penghianantan itu kembali berputar dikepalaku.
“Lagian,
kamu sih…asal jadian aja.. mana nggak cerita-cerita ke aku. Tiba-tiba udah
jadian aja.” Aku melirik sebal. Lelaki disebelahku ini tersenyum. Salah satu
senyuman yang termanis.
“Terus
sekarang udah baikan?” tanyanya lagi. Padahal aku padahal aku belum menjawab
satupun pertanyaan yang diajukan dari tadi. Aku mengakat bahu.
“Entahlah….,”jawabaku.
Nyeri itu masih terasa, dalam setiap tarikan nafas, masih amat sangat terasa. Aku
sampai ingin berhenti bernafas saja.
Kami larut dalam keheningan lagi. Mendengarkan semilir angina yang berhembus
sejuk di telinga. Langit sudah mulai menggelap. Lima menit. Sepuluh menit.
Matahari beranjak keperaduannya. Menyisahkan semburat jingga yang sebentar lagi
akan berganti gelap. Dia menoleh kearahku. Apa? Kunaikan alis mataku. Dia
menatap mataku dalam dan…
“Aku
saying kamu, Dhe…” dia berbisik pelan. Sangat pelan. Tapi mampu ditangkap indra
pendengaranku. Aku tersentak kaget. Jantungku terasa berhenti berdetak. Aku
tidak salah dengarkan? Kamu?
“selama
ini aku diam aja, dengerin curhatan kamu tentang cowok-cowok yang dekat sama
kamu. Aku support setiap kamu deketin cowok. Bahkan aku ikut bahagia kalo kamu
bilang kamu jadian…”
Aku
diam. Kali ini dia tidak berbisik lagi. Dia berbicara dengan jelas. Dan entah
mengapa mendadak suasana disekitar menjadi sepi, amat sangat sepi. Bahkan
anginpun seakan berhenti dan ikut mendengarkan.
“Tapi,
waktu kamu jadian sama dia, aku ngerasa ada yang hilang. Kebersamaan kita, Dhe…
Dia menyabotase seluruh waktumu…”ucapnya sambil mengalihkan pandangannya. Aku
masih diam. Masih mendengarkan. Kali ini aku sudah yakin aku tidak salah dengar
lagi, karena dia berkata begitu jelas.
“Akhirnya aku janji sama diri aku sendiri,
kalo nanti kalian putus, aku nggak akan nyia-nyiain kesempatan lagi. Aku bakal
bilang ke kamu yang sebenarnya. Tentang perasaan ini.”
Tuhan…
“Dan..sekarang
ini saatnya…,”ucapmu dan kembali menatapku.
Dua
tahun terlewati dengan segala ketidakpastian diantara kita, akhirnya malam ini
kamu katakana itu. Kamu sayang aku? Aku tidak sedang bermimpi indah, kan ? atau
tidak pula sedang masuk dalam salah satu gombalanmu,kan?
“kamu
mau jadi pacar aku, Dhe?”
Pertanyaan
singakat itu membuat aku menggigil. Aku mau? Tentu saja aku mau! Tapi..entah
kenapa hati ini mendadak ragu .. aku baru saja dikhianati. Seseorang baru saja
membawa pergi semua kebahagian secara tiba-tiba.
Kebahagian yang sejatinya
dihadirkan secara tiba-tiba juga. Dan aku takut..
Akan ada luka lain dibalik mala
mini ..
“Aku
…” Aku tergagap. Entah kenapa aku seakan tidak menemukan kata-kata yang pas
untuk diungkapkan.
“Aku
janji nggak akan ngecewain kamu.. aku pasti jaga kamu baik-baik, Dhe. Aku janji
bakal jadi cowok yang kamu inginkan selama ini… kayak apa yang selalu kamu
seritain ke aku.”
Dia
meraih tanganku dan menggenggam dengan erat. Aku menatap matanya,
Berusaha mencari kesungguhan
disana. Dan dia balas menatapku. Ah, apa aku juga bilang matamu ini meneduhkan?
Dan aku menemukannya di sana. Kenyamanan. Lalu tiba-tiba di kepalaku seperti
ada sebuah video yang berputar. Saat-saat di mana dia selalu ada untuk
membelaku dalam kondisi apa pun. Dia selalu jadi orang pertama yang dating
memeluk saat aku senang maupun sedih. Dia yang rela meninggalakan pertandingan
bola liga favorit demi menemani aku. Dia yang …,
Ah..
Mata memang selalu jujur. Aku masih menatap matanya dalam-dalam. Kami saling
menatap. Wajah kami semakin dekat dan jarak diantara kami semakin mengecil dan
jutaan kupu-kupu mulai menggelitik perutku.
Tuhan,
I do love him… dan lelaki seperti dia
ini yang aku cari..